Putri Rubiah termenung sejurus mendengar perkataan adiknya
ini. Kemudian ia berkata pula, "Mauku sekolah Belanda ini
saja, cukuplah. Sudah itu masukkan saja ia ke kantor, jadi juru
tuliskah atau apa saja. Biarpun tak bergaji, tak mengapalah mulamula
ini. Kelak, tentulah akan naik juga pangkatnya dan dapat
juga gaji yang besar, asal ada untungnya. Bukankah sudah ada
pepatah kita yang mengiaskan hal itu: Malang tak boleh ditolak,
mujur tak dapat diraih. Sesudah diikhtiarkan, diserahkan! Ini
tidak; karena hendak memajukan anak sampai berhabis-habisan.
Harta pusaka pun hampir diganggunya pula."
"Harta pusaka kita?" jawab Sutan Hamzah dengan mengangkat
kepalanya. "Hendak hamba lihat, kalau benar ia berani
menghabiskan harta pusaka kita. Walaupun hamba tak berpangkat,
tetapi tak takut melawannya."
"Itulah yang menjadikan bimbang hatiku siang-malam,
hingga acapkali aku tak dapat tidur karena memikirkan hal ini.
Aku takut kalau-kalau benar diperbuatnya sedemikian, menjadi
berbantah kita, antara saudara dengan saudara. Bukan tak baik
saja, perbuatan yang sedemikian, tetapi malu aku kepada orang
lain; sebab tak layak orang yang berbangsa sebagai kita, berbuat
begitu," kata putri Rubiah pula dengan mengeluh.
"Tetapi kalau tak dapat dihindarkan, apa boleh buat! Janganlah
takut, Kanda! Hamba di muka kelak," jawab Sutan Hamzah
dengan garangnya. "Tentu saja ia selalu tiada beruang dan dirundung
susah sedemikian itu; sebab bodoh dan gila. Apakah
sebabnya ditanggung, yang tak perlu ditanggung dan disuruh
pula menuntut ilmu ke mana-mana. Itulah yang dikatakan orang:
Tak beban, batu digalas. Siapa yang mau berbuat sedemikian,
waktu ini? Hanya ia sendiri. Pada sangkanya, akan dipuji orang
perbuatannya ini. Tidak diketahuinya, bahwa ia dicerca dan
ditertawakan orang dari belakang.
Dan apakah sebabnya ia tak mau menerima segala jemputan
orang dan tak suka beristri banyak? Bukankah itu sekaliannya
duit saja! Apabila tiap-tiap kawin, ia beroleh uang jemputan dua
ratus atau tiga ratus rupiah, tak perlu ia makan gaji lagi? Kalau
habis duit, kawin lagi. Apakah salahnya dan susahnya beristri
dan beranak banyak? Karena laki-laki bangsawan tak perlu
memelihara dan membelanjai anak istrinya. Sekaliannya itu
tanggungan orang lain. Apa gunanya bangsa dan pangkat yang
tinggi, kalau tiada akan beroleh hasil?
Coba lihat hamba! Walaupun tiada mempunyai pekerjaan,
makan tak kurang, kocek pun tak kosong. Apabila hamba datang
ke rumah istri hamba, makanan yang lezat citarasanya telah
tersedia: pakaian yang bersihpun, demikian pula. Jika berjalan,
kocek diisi: rokok dan segala keperluan hamba yang lain, diberi.
Ingin hamba hendak berbendi pada petang hari, bendi mentua
hamba telah tersedia; segala kesukaan diadakan, segala kemauan
tiada dilarang. Apa lagi yang dikehendaki? Bukankah bodoh,
laki-laki yang tak suka kepada adat istiadat yang sedemikian?"
"Memang engkaulah saudaraku yang sesungguh-sungguhnya,
membangkitkan batang terendam, yang tahu adat istiadat dan
menjunjung tinggi pusaka nenek moyang kita dan tahu menghargakan
ketinggian kebangsawanan kita dan menjalankan
kewajiban kepada saudara dan kemenakannya," kata putri
Rubiah, memuji-muji adiknya itu.
"Apa yang hamba susahkan?" kata Sutan Hamzah pula.
"Biarpun berpuluh istri hamba, beratus anak hamba, belanja tak
perlu hamba keluarkan dari kocek hamba, sebab istri hamba ada
orang tua dan mamaknya. Demikian pula anak hamba, bukan
tanggungan hamba. Apabila mentua hamba tiada cakap atau
tiada sudi lagi membelanjai hamba, hamba ceraikan anaknya dan
hamba kawini perempuan lain, yang mampu; tentu dapat hamba
uang jemputan dua tiga ratus rupiah dan berisilah pula kocek
hamba. Bukan sebagai kakanda Mahmud; jangankan mendapat
uang, bahkan berugi dan berhabis uang pula ia. Mengapakah tak
dipergunakan bangsa dan pangkatnya yang tinggi itu? Sedang
sekarang, anaknya masih seorang dan istrinya seorang pula,
sudah tak dapat ia berkata apa-apa lagi. Bagaimanakah halnya
kelak, apabila anak dan istrinya sebanyak anak dan istri hamba?
Jangan-jangan mati di jalan besar sendiri saja ia. Karena hamba,
walaupun muda dari padanya, tetapi telah sepuluh orang istri
hamba dan delapan belas orang anak hamba. Sungguhpurt
demikian, hamba tiada susah, tiada kekurangan uang, tiada
meminjam ke sana ke mari. Lebih banyak anak, bukankah lebih
baik, lebih kembang biak dan lebih banyak pula orang yang
berbangsa di Padang ini. Dalam Quran pun diizinkan beristri
sampai empat orang sekali. Apakah sebabnya tak diturutnya itu,
kalau benar ia orang Islam'? Katanya ia cerdik pandai, sebab
bersekolah dan berpangkat tinggi; tetapi kepandaiannya itu
menyusahkan dirinya sendiri. Bukankah lebih baik bodoh
sebagai hamba ini, tetapi tak pernah susah dan menyusahkan
orang.
Anaknya disuruhnya sekolah ini dan sekolah itu, belajar ini
dan belajar itu, akhirnya ia akan menjadi apa? Menjadi raja, tak
dapat. Walaupun berpangkat setinggi apa sekalipun, jika masih
makan gaji masih di bawah perintah orang; berbuat sekehendak
hati tak boleh. Segala perintah dari atas, harus diturut. Biar
malam ataupun siang, biar sakit ataupun senang, lamun
pekerjaan harus dikerjakan; tak boleh mengatakan tidak. Kalau
enggan bekerja, tentu akan diperhentikan dari pekerjaan atau
mendapat nama yang kurang baik. Tetapi hamba, bebas sebagai
burung di udara; tak ada yang melarang dan menyuruh, boleh
berbuat sekehendak hati: Beraja di hati, bersutan di mata hamba
sendiri. Hendak pun tidur selama-lamanya atau duduk bercakapcakap
saja atau bersuka-sukaan sehari-hari, berjalan ke manamana,
tak ada yang membantah. Oleh karena itu benarkah orang
yang berilmu dan berpangkat tinggi itu lebih senang daripada
orang yang bodoh dan berpangkat rendah? Di sini ada contohnya,
tak perlu mengambil misal jauh jauh. Perbandingkanlah
Kakanda Mahmud dengan hamba.
Anaknya Samsu itu memang harus disekolahkannya ke
mana-mana, untuk menuntut ilmu yang tinggi-tinggi, sebab jika
tak demikian, tentulah anak itu tiada akan menjadi orang kelak.
Orang yang sebagai dia, harus membanting tulang, jika tak kaya;
sebab bangsanya kurang. Tetapi pada pikiran hamba, walaupun
tak menjadi orang anak itu, apa peduli kita? Bukan tanggungan
kita. Yang akan malu, mamaknya. Oleh sebab itu tak habis pikir
hamba mengapa tidak mamaknya yang memajukan anak itu?
Lagi pula kesalahan siapa, Kanda Mahmud sampai beroleh anak
itu? Siapa yang menyuruh dia kawin dengan perempuan biasa
itu? Kurangkah putri-putri yang baik di Padang ini? Apa gunanya
memandang rupa saja, kalau bangsa tak ada? Coba kalau ia
kawin dengan putri bangsawan, niscaya anaknya takkan turun
bangsanya, tetap sutan. Sekarang anaknya hanya marah."
"Itulah yang menjadikan heran hatiku; tak dapat kupikirkan
bagaimana ingatannya sekarang ini. Bukankah telah adat nenek
moyang kita, yang sebagai itu? Mengapa tiada hendak diturutnya?
Malu aku rasanya mempunyai saudara sedemikian ini.
Orang yang tak tahu niscaya akan bersangka saudarakulah yang
tak laku kepada perempuan; barangkali karena ada cacatnya.
Tatkala kunyatakan kepadanya sesat pikirannya ini, jawabnya,
"Binatang yang beristri banyak." Coba kaupikir! Adakah patut
jawaban yang seperti itu dikeluarkannya di hadapanku?" kata
putri Rubiah pula.
"Demikian jawabnya?" tanya Sutan Hamzah dengan merah
mukanya.
"Sungguh," jawab putri Rubiah.
"Jadi binatanglah sekalian laki-laki yang ada di Padang ini!
Sebab sekaliannya beristri banyak. Hanya ia sendiri yang beristri
seorang. Jika demikian katanya, sesungguhnyalah pikirannya
telah bertukar dan otaknya telah miring. Barangkali telah
termakan perbuatan orang*), sehingga lupalah ia akan dirinya
dan jalan yang benar," sahut Sutan Hamzah, seraya menggelenggelengkan
kepalanya.
"Pikiranmu sesuai benar dengan pikiranku. Rasa hatiku
memang telah "berudang di balik batu," kata putri Rubiah pula,
* Kena ramuan guna-guna (pekasih)
sambil menoleh kepada saudaranya.
"Sekarang tahulah hamba, apa sebabnya ia sebagai benci saja
melihat kita. Sedangkan pekerjaan hamba sehari-hari dicelanya."
sahut Sutan Hamzah.
"Pekerjaan apa?" tanya putri Rubiah pula.
"Katanya tak patut seorang bangsawan berjudi dan
rnenyabung ayam. Bukankah itu permainan anak raja dan
saudagar yang kaya-kaya? Yang tak beruang dan tak berbangsa
itulah yang bekerja, menerima upah dari orang lain; takut kalaukalau
mati kelaparan. Tetapi hamba, masakan sedemikian?"
jawab Sutan Hamzah.
"Tentu," kata putri Rubiah, "orang yang berbangsa tinggi, tak
perlu bekerja mencari penghidupan, melainkan bersuka-sukaan
itulah kerjanya.
Tetapi sekarang marilah kita bicarakan, apa akal kita tentang
hal si Mahmud ini. Bagaimanakah baiknya pada pikiranmu,
supaya ia menjadi biasa kembali? Karena walau bagaimana
sekalipun, ia saudara kita juga, tak dapat kita tidakkan; sekalian
orang tahu. Apabila ada terjadi apa-apa atas dirinya, tentu kita
akan terbawa-bawa juga dan nama kita pun akan bercacatlah.
Jika kita bencanakan dia, menjadi sebagai: menepuk air di
dulang pekerjaan kita itu; muka kita sendiri juga yang akan
basah.
Kalau benar ia telah kena "perbuatan" orang, seharusnya kitalah
yang akan mengobatinya. Itulah kewajiban orang bersaudara.
Jangan kita musuhi dia, sebab tentulah akan bertambah-tambah
penyakitnya, karena dari kanan dan dari kiri, tak dapat
pertolongan. Kalau timbul sesuatu kecelakaan atas dirinya, tetapi
hendaknya—malang tersebut, mujur yang datang—, misalnya ia
meninggal dunia atau sakit, bukan istrinya itu yang akan
bersusah payah melainkan kita. juga. Sungguhpun demikian,
oleh si Penghulu tiada diingatnya itu. Sekarang apa akalmu?"
tanya putri Rubiah.
"Baiklah kita cari dukun yang pandai untuk mengobatinya."
"Tahukah engkau seorang dukun yang pandai?"
"Tahu, rumahnya dekat di sini, Juara Lintau gelarnya."
"Adakah ia sekarang di rumahnya gerangan? Cobalah suruh
lihat oleh si Abu! Barangkali ada di rumah. Biarlah kini kita
suruh datang ia kemari, supaya bangat pekerjaan ini."
"Abu!" teriak Sutan Hamzah.
Tatkala datang bujang Abu, berkatalah Sutan Hamzah perlahan-
lahan kepadanya, sebagai takut ia perkataannya akan terdengar
oleh orang lain, "Abu, coba engkau pergi sebentar ke
rumah Juara Lintau! Kalau ia ada di rumah, mintalah datang
sebentar kemari, sebab ada keperluan yang hendak dibicarakan
dengan dia. Akan tetapi, apabila ada orang lain di sana, tunggulah
sampai orang itu pulang, supaya jangan ada orang yang tahu
engkau memanggil Juara ini."
"Baiklah, Engku Muda," jawab si Abu, lalu berangkat.
"Kalau ia datang, hendaklah lebih dahulu kausuruh tenungkan
olehnya, benarkah si Penghulu kena ilmu orang atau tidak.
Kalau benar, suruhlah obati, supaya terlepas ia daripada perbuatan
orang itu. Kemudian hendaklah kausuruh kerjakan pula,
supaya ia benci kepada istrinya," kata putri Rubiah perlahanlahan.