Senin, 15 April 2013

PART 12


Putri Rubiah termenung sejurus mendengar perkataan adiknya
ini. Kemudian ia berkata pula, "Mauku sekolah Belanda ini
saja, cukuplah. Sudah itu masukkan saja ia ke kantor, jadi juru
tuliskah atau apa saja. Biarpun tak bergaji, tak mengapalah mulamula
ini. Kelak, tentulah akan naik juga pangkatnya dan dapat
juga gaji yang besar, asal ada untungnya. Bukankah sudah ada
pepatah kita yang mengiaskan hal itu: Malang tak boleh ditolak,
mujur tak dapat diraih. Sesudah diikhtiarkan, diserahkan! Ini
tidak; karena hendak memajukan anak sampai berhabis-habisan.
Harta pusaka pun hampir diganggunya pula."
"Harta pusaka kita?" jawab Sutan Hamzah dengan mengangkat
kepalanya. "Hendak hamba lihat, kalau benar ia berani
menghabiskan harta pusaka kita. Walaupun hamba tak berpangkat,
tetapi tak takut melawannya."
"Itulah yang menjadikan bimbang hatiku siang-malam,
hingga acapkali aku tak dapat tidur karena memikirkan hal ini.
Aku takut kalau-kalau benar diperbuatnya sedemikian, menjadi
berbantah kita, antara saudara dengan saudara. Bukan tak baik
saja, perbuatan yang sedemikian, tetapi malu aku kepada orang
lain; sebab tak layak orang yang berbangsa sebagai kita, berbuat
begitu," kata putri Rubiah pula dengan mengeluh.
"Tetapi kalau tak dapat dihindarkan, apa boleh buat! Janganlah
takut, Kanda! Hamba di muka kelak," jawab Sutan Hamzah
dengan garangnya. "Tentu saja ia selalu tiada beruang dan dirundung
susah sedemikian itu; sebab bodoh dan gila. Apakah
sebabnya ditanggung, yang tak perlu ditanggung dan disuruh
pula menuntut ilmu ke mana-mana. Itulah yang dikatakan orang:
Tak beban, batu digalas. Siapa yang mau berbuat sedemikian,
waktu ini? Hanya ia sendiri. Pada sangkanya, akan dipuji orang
perbuatannya ini. Tidak diketahuinya, bahwa ia dicerca dan
ditertawakan orang dari belakang.
Dan apakah sebabnya ia tak mau menerima segala jemputan
orang dan tak suka beristri banyak? Bukankah itu sekaliannya
duit saja! Apabila tiap-tiap kawin, ia beroleh uang jemputan dua
ratus atau tiga ratus rupiah, tak perlu ia makan gaji lagi? Kalau
habis duit, kawin lagi. Apakah salahnya dan susahnya beristri
dan beranak banyak? Karena laki-laki bangsawan tak perlu
memelihara dan membelanjai anak istrinya. Sekaliannya itu
tanggungan orang lain. Apa gunanya bangsa dan pangkat yang
tinggi, kalau tiada akan beroleh hasil?
Coba lihat hamba! Walaupun tiada mempunyai pekerjaan,
makan tak kurang, kocek pun tak kosong. Apabila hamba datang
ke rumah istri hamba, makanan yang lezat citarasanya telah
tersedia: pakaian yang bersihpun, demikian pula. Jika berjalan,
kocek diisi: rokok dan segala keperluan hamba yang lain, diberi.
Ingin hamba hendak berbendi pada petang hari, bendi mentua
hamba telah tersedia; segala kesukaan diadakan, segala kemauan
tiada dilarang. Apa lagi yang dikehendaki? Bukankah bodoh,
laki-laki yang tak suka kepada adat istiadat yang sedemikian?"
"Memang engkaulah saudaraku yang sesungguh-sungguhnya,
membangkitkan batang terendam, yang tahu adat istiadat dan
menjunjung tinggi pusaka nenek moyang kita dan tahu menghargakan
ketinggian kebangsawanan kita dan menjalankan
kewajiban kepada saudara dan kemenakannya," kata putri
Rubiah, memuji-muji adiknya itu.
"Apa yang hamba susahkan?" kata Sutan Hamzah pula.
"Biarpun berpuluh istri hamba, beratus anak hamba, belanja tak
perlu hamba keluarkan dari kocek hamba, sebab istri hamba ada
orang tua dan mamaknya. Demikian pula anak hamba, bukan
tanggungan hamba. Apabila mentua hamba tiada cakap atau
tiada sudi lagi membelanjai hamba, hamba ceraikan anaknya dan
hamba kawini perempuan lain, yang mampu; tentu dapat hamba
uang jemputan dua tiga ratus rupiah dan berisilah pula kocek
hamba. Bukan sebagai kakanda Mahmud; jangankan mendapat
uang, bahkan berugi dan berhabis uang pula ia. Mengapakah tak
dipergunakan bangsa dan pangkatnya yang tinggi itu? Sedang
sekarang, anaknya masih seorang dan istrinya seorang pula,
sudah tak dapat ia berkata apa-apa lagi. Bagaimanakah halnya
kelak, apabila anak dan istrinya sebanyak anak dan istri hamba?
Jangan-jangan mati di jalan besar sendiri saja ia. Karena hamba,
walaupun muda dari padanya, tetapi telah sepuluh orang istri
hamba dan delapan belas orang anak hamba. Sungguhpurt
demikian, hamba tiada susah, tiada kekurangan uang, tiada
meminjam ke sana ke mari. Lebih banyak anak, bukankah lebih
baik, lebih kembang biak dan lebih banyak pula orang yang
berbangsa di Padang ini. Dalam Quran pun diizinkan beristri
sampai empat orang sekali. Apakah sebabnya tak diturutnya itu,
kalau benar ia orang Islam'? Katanya ia cerdik pandai, sebab
bersekolah dan berpangkat tinggi; tetapi kepandaiannya itu
menyusahkan dirinya sendiri. Bukankah lebih baik bodoh
sebagai hamba ini, tetapi tak pernah susah dan menyusahkan
orang.
Anaknya disuruhnya sekolah ini dan sekolah itu, belajar ini
dan belajar itu, akhirnya ia akan menjadi apa? Menjadi raja, tak
dapat. Walaupun berpangkat setinggi apa sekalipun, jika masih
makan gaji masih di bawah perintah orang; berbuat sekehendak
hati tak boleh. Segala perintah dari atas, harus diturut. Biar
malam ataupun siang, biar sakit ataupun senang, lamun
pekerjaan harus dikerjakan; tak boleh mengatakan tidak. Kalau
enggan bekerja, tentu akan diperhentikan dari pekerjaan atau
mendapat nama yang kurang baik. Tetapi hamba, bebas sebagai
burung di udara; tak ada yang melarang dan menyuruh, boleh
berbuat sekehendak hati: Beraja di hati, bersutan di mata hamba
sendiri. Hendak pun tidur selama-lamanya atau duduk bercakapcakap
saja atau bersuka-sukaan sehari-hari, berjalan ke manamana,
tak ada yang membantah. Oleh karena itu benarkah orang
yang berilmu dan berpangkat tinggi itu lebih senang daripada
orang yang bodoh dan berpangkat rendah? Di sini ada contohnya,
tak perlu mengambil misal jauh jauh. Perbandingkanlah
Kakanda Mahmud dengan hamba.
Anaknya Samsu itu memang harus disekolahkannya ke
mana-mana, untuk menuntut ilmu yang tinggi-tinggi, sebab jika
tak demikian, tentulah anak itu tiada akan menjadi orang kelak.
Orang yang sebagai dia, harus membanting tulang, jika tak kaya;
sebab bangsanya kurang. Tetapi pada pikiran hamba, walaupun
tak menjadi orang anak itu, apa peduli kita? Bukan tanggungan
kita. Yang akan malu, mamaknya. Oleh sebab itu tak habis pikir
hamba mengapa tidak mamaknya yang memajukan anak itu?
Lagi pula kesalahan siapa, Kanda Mahmud sampai beroleh anak
itu? Siapa yang menyuruh dia kawin dengan perempuan biasa
itu? Kurangkah putri-putri yang baik di Padang ini? Apa gunanya
memandang rupa saja, kalau bangsa tak ada? Coba kalau ia
kawin dengan putri bangsawan, niscaya anaknya takkan turun
bangsanya, tetap sutan. Sekarang anaknya hanya marah."
"Itulah yang menjadikan heran hatiku; tak dapat kupikirkan
bagaimana ingatannya sekarang ini. Bukankah telah adat nenek
moyang kita, yang sebagai itu? Mengapa tiada hendak diturutnya?
Malu aku rasanya mempunyai saudara sedemikian ini.
Orang yang tak tahu niscaya akan bersangka saudarakulah yang
tak laku kepada perempuan; barangkali karena ada cacatnya.
Tatkala kunyatakan kepadanya sesat pikirannya ini, jawabnya,
"Binatang yang beristri banyak." Coba kaupikir! Adakah patut
jawaban yang seperti itu dikeluarkannya di hadapanku?" kata
putri Rubiah pula.
"Demikian jawabnya?" tanya Sutan Hamzah dengan merah
mukanya.
"Sungguh," jawab putri Rubiah.
"Jadi binatanglah sekalian laki-laki yang ada di Padang ini!
Sebab sekaliannya beristri banyak. Hanya ia sendiri yang beristri
seorang. Jika demikian katanya, sesungguhnyalah pikirannya
telah bertukar dan otaknya telah miring. Barangkali telah
termakan perbuatan orang*), sehingga lupalah ia akan dirinya
dan jalan yang benar," sahut Sutan Hamzah, seraya menggelenggelengkan
kepalanya.
"Pikiranmu sesuai benar dengan pikiranku. Rasa hatiku
memang telah "berudang di balik batu," kata putri Rubiah pula,
* Kena ramuan guna-guna (pekasih)
sambil menoleh kepada saudaranya.
"Sekarang tahulah hamba, apa sebabnya ia sebagai benci saja
melihat kita. Sedangkan pekerjaan hamba sehari-hari dicelanya."
sahut Sutan Hamzah.
"Pekerjaan apa?" tanya putri Rubiah pula.
"Katanya tak patut seorang bangsawan berjudi dan
rnenyabung ayam. Bukankah itu permainan anak raja dan
saudagar yang kaya-kaya? Yang tak beruang dan tak berbangsa
itulah yang bekerja, menerima upah dari orang lain; takut kalaukalau
mati kelaparan. Tetapi hamba, masakan sedemikian?"
jawab Sutan Hamzah.
"Tentu," kata putri Rubiah, "orang yang berbangsa tinggi, tak
perlu bekerja mencari penghidupan, melainkan bersuka-sukaan
itulah kerjanya.
Tetapi sekarang marilah kita bicarakan, apa akal kita tentang
hal si Mahmud ini. Bagaimanakah baiknya pada pikiranmu,
supaya ia menjadi biasa kembali? Karena walau bagaimana
sekalipun, ia saudara kita juga, tak dapat kita tidakkan; sekalian
orang tahu. Apabila ada terjadi apa-apa atas dirinya, tentu kita
akan terbawa-bawa juga dan nama kita pun akan bercacatlah.
Jika kita bencanakan dia, menjadi sebagai: menepuk air di
dulang pekerjaan kita itu; muka kita sendiri juga yang akan
basah.
Kalau benar ia telah kena "perbuatan" orang, seharusnya kitalah
yang akan mengobatinya. Itulah kewajiban orang bersaudara.
Jangan kita musuhi dia, sebab tentulah akan bertambah-tambah
penyakitnya, karena dari kanan dan dari kiri, tak dapat
pertolongan. Kalau timbul sesuatu kecelakaan atas dirinya, tetapi
hendaknya—malang tersebut, mujur yang datang—, misalnya ia
meninggal dunia atau sakit, bukan istrinya itu yang akan
bersusah payah melainkan kita. juga. Sungguhpun demikian,
oleh si Penghulu tiada diingatnya itu. Sekarang apa akalmu?"
tanya putri Rubiah.
"Baiklah kita cari dukun yang pandai untuk mengobatinya."
"Tahukah engkau seorang dukun yang pandai?"
"Tahu, rumahnya dekat di sini, Juara Lintau gelarnya."
"Adakah ia sekarang di rumahnya gerangan? Cobalah suruh
lihat oleh si Abu! Barangkali ada di rumah. Biarlah kini kita
suruh datang ia kemari, supaya bangat pekerjaan ini."
"Abu!" teriak Sutan Hamzah.
Tatkala datang bujang Abu, berkatalah Sutan Hamzah perlahan-
lahan kepadanya, sebagai takut ia perkataannya akan terdengar
oleh orang lain, "Abu, coba engkau pergi sebentar ke
rumah Juara Lintau! Kalau ia ada di rumah, mintalah datang
sebentar kemari, sebab ada keperluan yang hendak dibicarakan
dengan dia. Akan tetapi, apabila ada orang lain di sana, tunggulah
sampai orang itu pulang, supaya jangan ada orang yang tahu
engkau memanggil Juara ini."
"Baiklah, Engku Muda," jawab si Abu, lalu berangkat.
"Kalau ia datang, hendaklah lebih dahulu kausuruh tenungkan
olehnya, benarkah si Penghulu kena ilmu orang atau tidak.
Kalau benar, suruhlah obati, supaya terlepas ia daripada perbuatan
orang itu. Kemudian hendaklah kausuruh kerjakan pula,
supaya ia benci kepada istrinya," kata putri Rubiah perlahanlahan.

PART 11


dan menyusahkan hatinya, dengan sesalan yang tiada berkeputusan,"
kata Nurbaya dengan terpikir dan sedih rupanya.
"Cerita ayam yang bertelur emas itu, lebih-lebih menjadi
ibarat bagi mereka yang loba dan tamak," kata Sam. "Demikian
hikayatnya:
Seorang peladang mempunyai ayam betina beberapa ekor.
Pada suatu hari seekor daripada ayamnya itu bertelur emas.
Bagaimana, besar hati si peladang, tentulah dapat kaumaklumi,
Nur. Karena lobanya, hendak lekas kaya, disembelihnya ayam
itu. Pada sangkanya, tentulah dengan sekaligus akan diperolehnya
sekalian telur emas yang ada dalam perut ayam itu. Akan
tetapi apa kata? Perut ayam itu isinya sebagai isi perut ayam
yang biasa juga dan sebutir telur emas pun tak ada dalamnya.
Jika ditunggunya dengan sabar, mungkin hari kedua ayam itu
bertelur emas pula. Sekarang ayamnya telah mati dan pengharapannya
telah putus."
"Harus begitu hukuman orang yang tamak sedemikian,"
jawab Nurbaya. "Jika tiada dibunuhnya ayamnya, barangkali
diperoleh setiap hari sebutir telur emas."
"Barangkali," jawab Samsu. "Tetapi Nur, sejak kita sampai
kemari, belum kita pergi ke mana-mana. Tiadakah ingin hatimu
hendak bermain-main dan berayun-ayun di buaian itu?"
"Tentu," jawab Nurbaya, "asal engkau yang mengayunkan
aku."
"Memang, siapa lagi. Arif dan Tiar tak ada di sini. Asal suka
saja engkau, berapa lama pun aku ayunkan," kata Samsu pula,
lalu pergi bersama-sama Nurbaya ke tempat sebuah buaian
kawat besi, yang diikatkan pada dua buah tiang kayu, yang tinggi
dan kukuh.
"Tetapi jangan keras-keras kauayunkan aku, Sam!" kata
Nurbaya, sambil duduk di atas ayunan itu.
"Bagaimana sukamu saja," jawab Samsu.
Setelah sejurus lamanya berayun-ayun itu, tiba-tiba berteriaklah
Nurbaya, "Ada kapal api di laut! Kelihatan dari atas ini."
Dengan segera dihentikan Samsu buaian itu, lalu keduanya
mencari sesuatu tempat yang tinggi, untuk melihat kapal yang dikatakan
Nurbaya tadi. Sesungguhnya, di laut kelihatan sebuah
kapal api, yang rupanya baru keluar dari pelabuhan Teluk Bayur,
berlayar dengan tenangnya menuju ke utara. Asapnya yang telah
tebal dan hitam mengepul di udara.
"Ke manakah perginya kapal itu, Sam?" tanya Nurbaya.
"Tentulah ke Aceh dan Sabang, barangkali singgah juga ia di
Sibolga," jawab Samsu.
"Kemudian ke mana terusnya?" tanya Nurbaya pula.
"Kembali pula kemari, lalu ke Jakarta. Bolak-balik saja
kerjanya, membawa penumpang dan muatan dari selatan ke
utara," jawab Samsu. "Barangkali dengan kapal itu kau kelak
pergi ke Jakarta," kata Nurbaya. Mendengar perkataan ini, bertukarlah
wajah muka Samsu, dari riang menjadi muram dan termenunglah
ia berapa lamanya, tiada berkata-kata. Nurbaya
sangat heran melihat hal sahabatnya yang sedemikian itu, lalu
bertanya, "Mengapa kau tiba-tiba berdiam, Sam? Kurang enakkah
badanmu?"
"Bukan, Nur. Hanya sebab engkau tadi menyebut nama
negeri tempat aku akan pergi, tiga bulan lagi," jawab Samsu.
"Pada sangkaku hatimu besar, pergi ke Jakarta," kata
Nurbaya.
"Tentu, Nur, tentu! Karena di sanalah aku akan melihat ibu
negeri Indonesia ini, kota yang sebesar-besarnya dan sebagusbagusnya,
dalam Tanah Air kita. Dan di sanalah pula aku akan
beroleh pelajaran yang akan menjadikan aku seorang yang
berilmu. Tetapi... berat sungguh hatiku akan meninggalkan kota
Padang ini, tanah lahirku, tempat tumpah darahku, kampung
halamanku. Karena di sinilah ada ayah-bundaku, kaum keluargaku,
serta handai tolanku; sedang di sana belum kuketahui dengan
siapa aku akan bersama-sama dan betapa mereka itu. Sampai
kepada waktu ini aku biasa diperlindungi orang tuaku; tetapi di
sana, tentulah aku akan hidup seorang diri."
"Tentu saja, Sam. Memang tak mudah bercerai dengan ibubapa,
handai tolan dan teman sejawat. Tetapi pada sangkaku
kecanggunganmu itu tiada berapa lama. Tiap-tiap permulaan
biasanya susah. Akan tetapi apabila telah sampai engkau ke
Jakarta kelak, tentulah akan hilang juga segala kesusahanmu,
dirintang penglihatan dan pendengaran yang indah-indah.
Barangkali pula lekas engkau beroleh ibu-bapa, sahabat kenalan
yang baru, sehingga bertambah-tambah lekaslah pula engkau
lupa kepada kami," kata Nurbaya sambil tersenyum dan
memandang kepada Samsu.
"Jika rindumu itu tiada hendak hilang, baiklah kaulipur
hatimu dengan pikiran yang begini, "Aku ada di Jakarta ini untuk
sementara, menuntut pelajaran yang akan memberi kepandaian,
pangkat, dan gaji yang besar kepadaku; oleh sebab itu pikiranku
tak boleh tergoda oleh yang lain. Apabila telah sampai maksudku
itu kelak, tentulah aku segera dapat pulang kembali, bertemu
dengan sekalian yang kucintai."
Ingatlah pantun:
Jika ada sumur di ladang,
tentu boleh menumpang mandi.
Jika ada umurku panjang,
tentu boleh bertemu lagi.
Gunung dan lembah yang tiada dapat bertemu, tetapi
manusia, asal ada hayat di kandung badan, tentulah akan berjumpa
juga. Sedangkan ikan di lautan, asam di daratan, bertemu
dalam kuali," kata Nurbaya dengan bermain-main, karena pada
sangkanya, pura-puralah Samsu berbuat sebagai bersusah hati,
sebab akan pergi ke Jakarta itu.
"Barangkali sangkamu, aku pura-pura berbuat susah, karena
akan pergi ke Jakarta itu," kata Samsu pula, "tetapi sesungguhnyalah
sangat khawatir hatiku meninggalkan...."
Hingga ini Samsu berhenti, sebagai tak berani menyebut
nama orang yang dikhawatirkannya itu.
"Meninggalkan siapa, Sam?" tanya Nurbaya. "Adakah orang
di sini tempat hatimu tersangkut?"
"Meninggalkan engkau, Nur," jawab Samsu, terus terang.
"Aku?" tanya Nurbaya pula, seakan-akan heran.
"Ya," jawab Samsu dengan pendek.
Nurbaya termenung mendengar pengakuan ini, lalu menundukkan
kepalanya ke tanah, sehingga tiadalah dapat dilihat,
bagaimana warna mukanya pada waktu itu.
"Jangan engkau salah sangka, Nur! Dengarlah, apa sebabnya
hatiku khawatir meninggalkan engkau. Telah beberapa hari aku
digoda oleh suatu pikiran yang tak baik," kata Samsu.
"Dari mana datangnya pikiran yang sedemikian?" tanya
Nurbaya pura-pura tersenyum, akan melenyapkan perubahan
mukanya yang menjadi kaca hatinya.
"Bagaimana aku takkan khawatir," sahut Samsu. "Pada
malam Jum'at yang telah lalu, aku bermimpi: rasanya aku mendaki
Gunung Padang ini.
Tatkala sampai ke atas ini, tibalah aku rasanya di kota Jakarta
yang ramai dan besar itu. Di tengah-tengah kota ini adalah
sebuah menara yang tinggi. Seorang tua berkata kepadaku, "Hai
Samsu, jika engkau hendak mencapai maksudmu, naiklah
menara ini."
Tatkala aku hendak menaiki menara ini, tiba-tiba kelihatanlah
olehku, engkau mengikut dari belakang, seorang diri. Oleh
sebab itu kutunggulah engkau, supaya dapat naik bersama-sama.
Tiba-tiba datanglah Engku Datuk Meringgih menghelakan
engkau ke bawah, lalu didukungnya, dibawanya lari. Karena
panas hatiku, kurebutlah engkau dari tangannya, sehingga berkelahilah
aku dengan dia. Oleh sebab ia lebih kuat dari padaku,
dapatlah aku ditangkapnya dan dilontarkannya ke, bawah
gunung ini. Engkau pun, sebab membantah, tiada mengikut
kemauannya dijerumuskannya pula ke bawah. Maka jatuhlah
kita berdua terguling-guling ke kaki gunung ini, masuk ke dalam
suatu lubang yang besar, sehingga tak dapat keluar lagi. Ketika
itu terbangunlah aku dengan sangat terperanjat. Badanku basah
kena keringat. Semalam-malaman itu tiadalah dapat aku tidur
lagi dan sejak waktu itu, mimpi ini tiadalah hendak hilang dari
pikiranku."
"Wahai! Rupanya inilah sebabnya engkau kulihat terkadangkadang
termenung seorang diri," kata Nurbaya. "Tetapi janganlah
engkau terlalu percaya akan mimpi itu, karena mimpi
permainan pikiran, tiada selamanya benar; acap kali bohong, tak
ada takbirnya. Melainkan sejak sekarang marilah kita bersamasama
menadahkan tangan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
untuk memohonkan kepada-Nya supaya mudah-mudahan dipelihara-
Nya juga kita di dalam segala hal," kata Nurbaya pula,
sebagai pelipur hati Samsu. Akan tetapi, meskipun ia berkata
sedemikian, hatinya tiada senang juga, karena sesungguhnya
ganjil mimpi Samsu ini pada rasa hatinya.
Tatkala itu kembalilah Bakhtiar dan Arifin tergopoh-gopoh
dari perburuannya, sebagai ada sesuatu yang dilarikannya.
"Apa yang dapat?" tanya Nurbaya.
"Sst, diam! Jangan ribut!" kata Bakhtiar, sambil menyembunyikan
bedilnya."
"Bakhtiar membedil orang," kata Arifrrt perlahan-lahan.
"Membedil orang?" tanya Samsu dengan terperanjat.
"Ya," jawab Arifin, "tetapi nantilah kuceritakan kepadamu.
Sekarang mari kita pulang lekas-lekas!"
"Makanan itu bagaimana?" tanya Nurbaya.
"Kita makan cepat-cepat dan kemudian kita pulang dengan
segera," jawab Arifin.
Tatkala mereka berkata-kata itu, Bakhtiar menyembunyikan
bedilnya dalam rumput-rumput, kemudian datang hendak makan
bersama-sama. Tetapi walaupun ia sangat lapar, tiadalah dapat
juga makan dengan sepertinya, karena ketakutan. Mukanya
pucat, tangannya gemetar.
Setelah selesai makan lalu Bakhtiar membungkus bedilnya
dengan kelopak lopak pisang, supaya jangan kelihatan dari luar.
Kemudian menurunlah mereka bergesa-gesa.
Tatkala sampai ke pangkal pendakian, berhentilah mereka
sejurus di kedai, untuk melepaskan lelahnya. Tiada lama
kemudian daripada itu, turunlah dua orang serdadu dari atas
gunung ini. Seorang dari padanya jalannya seakan-akan pincang
dan paha kirinya dipegangnya dengan tangannya.
Tatkala Bakhtiar dan Arifin melihat serdadu ini, bersembunyilah
mereka ke dalam kedai tadi. Seketika lagi sampailah
kedua serdadu itu ke muka kedai ini, lalu hendak ber-henti
pula di sana. Yang tiada pincang bertanya, "Masih sakitkah
kakimu? Marilah kita berhenti dahulu di sini."
"Ah, tak usah. Baik kita terus pulang, supaya jangan terlambat
sampai ke tangsi," jawab yang sakit. .
"Siapakah yang telah membedilmu pada sangkamu?"
bertanya pula yang tak sakit.
"Tentulah anak-anak. Jika dapat ia kuputar batang lehernya,"
jawab yang sakit.
Kemudian kedua serdadu itu naik sebuah sampan, lalu
menyeberang sungai Arau.
Setelah sampai mereka ke seberang, barulah Bakhtiar dan
Arifin berani ke luar, lalu barkata, "Itulah dia yang kena bedilku
tadi."
"Bagaimana mulanya maka ia sampai jadi kena? Cobalah
kauceritakan!" tanya Nurbaya yang agak pucat mukanya.
"Aku hendak membedil burung Merbah yang ada dalam
semak-semak dan ia tiada kelihatan olehku, karena ia berdiri di
balik pohon kayu. Tatkala kubedil burung itu, tiba-tiba
kedengaran olehku suara orang berteriak, "Aduh! Apa ini?
Tolong!" Ketika itulah nyata olehku bahwa seorang daripada
serdadu tadi telah kena bedilku. Dengan segera aku lari
menyembunyikan diri."
"Memang ada-ada saja yang terjadi padamu, Bakhtiar! Belum
hilang takutku, karena engkau diserang kera, sekarang kau
tembak pula orang. Kalau dapat engkau olehnya tadi,
bagaimana!" kata Nurbaya seraya menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Bukan kusengaja, Nur. Kakinya itu kusangka dahan kayu
yang hitam, sebab badannya tersembunyi di balik pokok kayu.
Siapakah yang 'kan dapat menentukannya dari jauh? Tetapi
apanya yang kena, kaulihat tadi, Nur, tatkala ia melintas di sini?"
tanya Bakhtiar.
"Paha belakangnya yang sebelah kiri," jawab Nurbaya.
"Rupanya berdarah, lagi sakit; sebab selalu dipegangnya pahanya
itu."
"Marilah kita pulang, sebab hari telah setengah satu. Pak Ali
tentu telah ada dan perutku telah lapar," kata Samsu pula.
Setelah minum air seterup seorang segelas, menyeberanglah
keempat mereka, lalu pulang ke rumahnya masing-masing.
IV. PUTRI RUBIAH DENGAN SAUDARANYA SUTAN
HAMZAH
Pada petang hari Ahad, tatkala Samsu dengan sahabatnya pergi
berjalan-jalan ke Gunung Padang, kelihatan putri Rubiah duduk
di serambi belakang rumahnya, di atas sebuah tikar rumput,
sedang menjahit. Dekat putri itu duduk saudaranya yang bungsu,
Sutan Hamzah, sedang menggulung-gulung rokok daun nipah.
"Bagaimana pikiranmu tentang kakakmu Mahmud,
Hamzah?" tanya putri Rubiah dengan tiada menoleh dari
penjahitannya.
"Pada pikiran hamba, kelakuannya sangat berubah, " jawab
Sutan Hamzah, sambil menoleh kepada saudaranya.
"Pikiranku pun demikian pula. Makin lama makin jarang ia
datang kemari kian hari kian kurang diindahkannya aku dan
Rubiah, serta kaum keluarganya yang lain-lain sebagai takut ia
datang kemari. Katanya karena banyak kerja, dan ia takut kalaukalau
pekerjaannya kurang maju. Benarkah itu?" tanya putri
Rubiah.
"Ah, bohong! Bukannya ia sendiri yang menjadi Penghulu di
Padang ini dan berpangkat tinggi. Apakah sebabnya Penghulu di
lain-lain tiada sebagai dia?" jawab Sutan Hamzah.
"Pikiran yang sedemikian, acap kali timbul pula dalam
hatiku. Memang pangkat itu aku sukai dan harus dijaga benarbenar,
supaya jangan bercacat nama. Tetapi janganlah hendaknya
karena itu, berubah kelakuan adat dan pikiran. Coba kaupikir!
Aku dan Rukiah saudaranya dan kemanakannya yang
perempuan, jadi tanggungannya. Tetapi tiada dijaga, tiada
dikunjung-kunjunginya dan tiada dilihat-lihatnya, apalagi dibelanjainya;
pendeknya tidak diindahkannya. Hanya anak dan
istrinya sahaja yang dijaga dipelihara dan dihiraukannya. Kalau
terjadi apa-apa pada malam atau siang hari atau kami ditimpa
bahaya—sekali disebut seribu kali dijauhkan Allah hendaknya,
bagaimana kami? Akan mati seoranglah agaknya," kata Putri
Rabiah dengan sedih.
"Anaknya itu kabarnya akan dikirimkannya pula ke Jakarta,
Sekolah Jawa. Yang bukan tanggungannya ditanggungnya, yang
tanggungannya sendiri, disia-siakan. Kalau anaknya itu tak ada
mamaknya yang akan memikul beban ini, sudahlah; tolonglah
anak itu sebab kasihan Akan tetapi kewajiban, jangan dilupakan;
bahkan itulah yang patut diingat lebih dahulu."
"Si Samsu ke Jakarta?" tanya Sutan Hamzah dengan takjub
"Ya tiga bulan lagi. Dan dari sana, entah ke mana pula,
barangkali ke negeri Belanda. Hendak dijadikannya apa anaknya
itu, tiada kuketahui," jawab putri Rubiah.
"Akan dijadikannya jenderal, agaknya," sahut Sutan Hamzah
dengan tersenyum.
"Bukankah sekalian itu memakan uang saja? Itulah sebabnya
agaknya, maka tiap-tiap aku minta duit kepadanya, jarang dapat;
biasanya tak ada duit, katanya. Ke manakah gajinya yang
sebanyak itu? Tentulah habis untuk anak dan istrinya saja. Apakah
perlunya anak itu dimajukan sejauh itu? Sekolah Belanda ini
saja telah lebih daripada cukup. Berapa orang yang tiada tahu
bahasa Belanda, tetapi dapat juga mencapai pangkat yang tinggi.
Ayah kita, apa kepandaiannya? Menulis pun hampir tak dapat.
Tetapi mengapakah dapat juga ia menjabat pangkat Tuanku
Bendahara*). Siapakah di antara Penghulu-Penghulu yang ada di
Padang ini, yang pandai bahasa Belanda? Tak ada seorang pun.
Bukankah sekaliannya itu bergantung kepada untung nasib satusatunya
orang? Jika baik untungnya, tak pandai pun, ten¬tu akan
mendapat pangkat juga. Tetapi apabila tak baik nasib, walaupun
melangit kepandaiannya, jatuhnya ke pelimbahan juga."
"Pada pikiran hamba, anak itu tak baik untungnya. Segala
usaha Kakanda Mahmud ini, niscaya akan sia-sia belaka.
Cobalah lihat! Arang habis, besi binasa," jawab Sutan Hamzah,
sambil mengisap sebatang rokok yang dibuatnya.
"Mengapa engkau berkata demikian?" tanya putri Rubiah.
*) Pangkat yang hampir sama dengan patih
di tanah Jawa
"Ada suatu tanda padanya, ia akan mati berdarah dan akan
menjadi musuh kita," jawab Sutan Hamzah.

PART 10


daripada Bukit Barisan yang letaknya di tengah-tengah pulau
Sumatera, memanjang dari barat laut ke tenggara. Di belah timur
laut dan utara, kelihatan beberapa puncak gunung yang tinggitinggi,
sebagai ujung tiang pagar tadi. Di antara puncak-puncak
ini, di balik awan yang putih, kelihatan puncak Gunung Merapi
di Padang Panjang, yang terkadang-kadang nyata nampak
asapnya mengepul ke atas, bila cuaca amat terang.
Walaupun di sebelah timur, sekalian mahluk yang mendiami
daratan akan mendapat kehidupan dan kesenangan, di sebelah
barat tiada lain yang akan diperolehnya daripada bahaya dan
maut. Demikian pula kebalikannya jika dibawa sekalian yang
mendiami bagian yang di sebelah barat, ke timur, tentulah segera
akan sampai ajalnya. Di sebelah timur dapatlah manusia berpijak
tanah, tetapi di sebelah barat akan luluslah ia ke dasar lautan.
Setelah sejurus lamanya Samsulbahri termenung sedemikian
itu, tiba-tiba terperanjatlah ia, sebagai terbangun daripada
tidurnya, karena dirasainya bahunya dipegang orang dari
belakang dan didengarnya suara Nurbaya berkata, "Apakah yang
kaulihat, Sam?"
"Ah, tidak, Nur," jawab Samsu, "penglihatan di sini
sesungguhnya amat elok: Lihatlah pohon-pohon kelapa itu,
hampir tak ada hingganya dan di antaranya. Lihatlah pula bukit
barisan yang jauh menghijau samar-samar di sebelah timur itu!
Dan lihatlah tepi pantai negeri Pariaman, Tiku, dan Air Bangis,
yang menggaris terang sampai ke utara."
"Ya, sesungguhnya amat indah," jawab Nurbaya. "Hanya di
laut kurang pemandangan. Manakah pulau Pandan, dan manakah
pulau Angsa Dua?"
"Itulah, yang jauh itu, pulau Pandan, dan yang sebelah
kemari, pulau Angsa Dua," kata Samsu pula, sambil menunjuk
dua buah pulau yang berleret letaknya di sebelah ke muka dan
sebelah lagi di sebelah belakang.
"Jadi sesungguhnya sebagai dalam pantun.
Pulau Pandan jauh di tengah,
di balik pulau Angsa Dua,"
kata Nurbaya pula.
"Memang benar," jawab Samsu. "Tetapi bagaimanakah
sambungan pantun itu?" tanya Samsu.
"Ah, masakan kau tak tahu. Jangan: Kura-kura di dalam
perahu, pura-pura sebagai tak tahu," sahut Nurbaya.
"Sebenarnya pantun itu pantun tua, yang demikian bunyinya:
Pulau Pandan jauh di tengah,
di balik pulau Angsa Dua,
Hancur badan di kandung tanah,
guna baik diingat jua."
kata Samsu pula. "Tetapi oleh anak-anak muda sekarang
ditukar menjadi:
Pulau Pandan jauh di tengah;
di balik pulau Angsa Dua,
Hancur badanku di kandung tanah,
cahaya matamu kuingat jua."
"Ya, tentu, begitu pun boleh juga; bagaimana kehendak yang
berpantun saja," jawab Nuibaya.
Sungguhpun ia berkata demikian, tetapi di dalam hatinya
buah pantun ini menimbulkan suatu pikiran; hanya tiada diperlihatkannya
itu, dan dibuangnyalah mukanya menoleh ke darat
serta bertanya, "Gunung yang tinggi itu, gunung apakah
namanya?"
"Gunung Merapi, sangkaku," jawab Samsu.
"Gunung Merapi yang dekat Padang Panjang?" tanya
Nurbaya.
"Ya, antara Bukit Tinggi dan Padang Panjang," jawab Samsu.
"Dan tahukah pula engkau pantun yang berhubungan dengan
kota Padang Panjang itu?"
"Tidak," jawab Nurbaya, dengan hati yang agak berdebar.
"Begini," kata Samsu.
"Padang Panjang dilingkar bukit,
bukit dilingkar kayu jati,
Kasih sayang bukan sedikit,
dari mulut sampai ke hati."
Mendengar pantun Samsu ini, berubahlah warna muka
Nurbaya, menjadi kemerah-merahan, lalu tunduklah ia melihat
ke tanah, akan menyembunyikan perubahan wajah mukanya ini.
Apabila waktu itu tiada kedengaran suara Bakhtiar minta tolong,
niscaya terbukalah rahasia hati Nurbaya, yang menyebabkan air
mukanya jadi berubah.
Tatkala Samsu mendengar suara sahabatnya minta tolong,
tiadalah ia berpikir panjang lagi, lalu melompat berlari ke tempat
suara itu kedengaran, takut kalau-kalau Bakhtiar mendapat
sesuatu kecelakaan. Apabila sampailah ia ke tempat itu,
kelihatan olehnya, sahabat ini sedang diserang oleh beberapa
kera yang besar-besar, yang hendak merampas pisang yang ada
dalam tangannya.
Walaupun Samsu dengan segera membantu memukul kerakera
ini dengan sekerat kayu, tetapi karena banyaknya, tak
dapatlah dihalaukan sekaliannya, sehingga terpaksa ia meninggalkan
pisang-pisangnya dan menuntun Bakhtiar, keluar dari
kepungan penyamun yang berekor panjang itu, lalu membawa
sahabatnya ini ke rumah perhentian, tempat ia berdiri tadi. Di
tengah jalan bertemulah mereka dengan Nurbaya, yang mengikut
dari belakang hendak membantu pula. Dan sejurus kemudian,
keluarlah Arifin dari dalam semak-semak, berlari-lari menuju
mereka dengan menjinjing suatu bungkusan dalam tangannya.
Tatkala ia sampai kepada mereka, lalu bertanyalah ia dengan tergopoh-
gopoh, "Siapa yang berteriak? Ada apa?"
Setelah diceritakan oleh Samsu hal Bakhtiar diserang oleh
kera-kera itu, tertawalah ia gelak-gelak seraya menekan perutnya,
karena tiada tertahan geli hatinya. Walaupun ia sangat lelah
karena berlari-lari, tiada dirasainya juga kelelahannya itu, karena
tertawa. Akan tetapi Bakhtiar tiada mengindahkan ceinooh
Arifin ini, istimewa pula karena takutnya belum hilang.
"Memang telah kusangka, bahwa panglima perang kita ini,
lebih berani berkelahi dengan makanan, daripada dengan kera.
Sesungguhnya patut dadanya dihiasi dengan bintang kulit jering,
karena gagah beraninya tiada bertara," kata Arifin dalam tertawa
gelak-gelak itu dengan putus-putus suaranya.
Meskipun Samsu dan Nurbaya belum hilang debar hatinya
dan mereka sangat belas kasihan melihat hal Bakhtiar, tetapi
tiadalah dapat ditahannya hatinya hendak tertawa pula, mendengar
perkataan Arifin ini. Akan menghilangkan geli hatinya
ini, pura-pura bertanyalah Samsu kepada Bakhtiar, bagaimana
mulanya sampai diserang kera tadi. Maka diceritakanlah oleh
Bakhtiar, bahwa dengan sengaja dibawanya pisang sesisir, akan
diberikannya kepada kera-kera itu. Tiba-tiba,dilihatnya beberapa
ekor kera yang besar, datang dari segenap pihak mengelilinginya
dan merampas pisang yang ada dalam tangannya. Bahkan ada
pula yang memanjat bahu dan kepalanya, walaupun ia memukul
sekelilingnya. Akhirnya karena terlalu banyak kera itu datang
dan rupa-rupanya binatang ini makin bertambah-tambah marah,
sebab ada beberapa ekor di antaranya yang kena pukul,
berteriaklah ia minta tolong, takut kalau-kalau digigit penyamun
yang telah memperlihatkan giginya dan berbunyi-bunyi itu.
"Sekalian itu karena lokekmu juga, takut engkau sendiri
takkan beroleh pisang. Maksudmu tentulah hendak duduk
seorang diri memakan pisang itu di tengah-tengah kera yang
banyak itu, sebagai sekor raja kera, yang sedang dihadapi segala
menteri, hulubalang dan rakyatnya. Sisamulah yang akan
kauberikan kepada sekalian rakyatmu itu. Siapa mau? Sebab
apabila telah kaumakan niscaya, tak ada sisanya lagi; barangkali
kulit-kulitnya pun habis. Tentu saja tak suka rakyatmu membiarkan
engkau makan sendiri. Mereka pun ingin pula hendak
makan bersama-sama, karena perutnya pun lapar. Coba kau
minta makan bersama-sama mereka dengan perkataan, "Adikadikku
yang kucintai! Silakan makan bersama-sama abangmu
yang sangat merindukan engkau," kata Arifin dengan bersungguh-
sungguh rupanya. Tetapi tak ada seorang pun yang
menyahut, sedang Samsu dan Nurbaya pura-pura menoleh ke
tempat lain, supaya jangan kelihatan tertawa.
Kerena Bakhtiar berdiam diri, berkatalah pula Arifm, "Ada
sesuatu yang belum jelas bagiku. Mengapa tiada kaumakan
pisang itu lekas-lekas sampai habis? Apabila telah habis
sekaliannya masuk perutmu; apalagi yang akan dirampas kerakera
itu? Kepada kera kau pura-pura malu, tetapi kepada
manusia tidak."
"Untung tidak kumakan, pisang-pisang itu," jawab Bakhtiar
yang masih ketakutan, "kalau kumakan, barangkali perutku
dikoyak-koyaknya, akan mengeluarkan pisang yang ada
dalamnya."
"Bukankah akan menjadi kurang isi perutmu dan barangkali
sembuh pula engkau daripada penyakitmu suka makan," kata
Arifin, tatkala dilihatnya Bakhtiar belum juga marah. "Jangan
engkau kecil hati, Bakhtiar. Apabila aku tadi ada dekatmu, tentulah
tiada akan kutolong engkau. Bukan karena tak kasihan
kepadamu, melainkan karena sayang aku pertunjukan yang indah
itu akan lekas habis."
"Memang engkau selamanya begitu, pandai benar memperolok-
olokkan orang," jawab Bakhtiar. "Tetapi apabila engkau
sendiri beroleh hal yang sedemikian, barangkali lebih takutmu
dari padaku. Boleh jadi engkau menangis meraung-raung.
Sedangkan mendengar suara ayahmu sendiri, telah kaku badanmu
ketakutan, tadi malam: "
"Bukan menangis meraung-raung," jawab Arifin dengan
menyindir, "melainkan menyembah saja, minta ampun kepada
kera-kera itu. Aku angkat bendera putih, tanda kalah, tunduk dan
menyerahkan diri; kalau-kalau belas kasihan, ia kepadaku. Biarlah
turun dari raja sampai kepada tawanan. Tak apa asal jangan
dikoyak kera."
"Ah, sudahlah! Sekarang marilah kita pergi ke rumah perhentian
itu, karena aku berasa lapar," kata Samsu, sebagai
hendak menghabiskan pertengkaran ini, lalu berjalan mengajak
teman-temannya ke sana.
Setelah sampailah mereka ke rumah itu, berkatalah Arifm,
"Sebab aku tadi tiada melihat peperanganmu dengan kera,
perlihatkanlah sekarang, peperanganmu dengan makanan! Ini
aku bawa sebungkus jambu Keling. Berapa puluh dapat
kaualahkan dengan gigimu yang tajam itu?" tanya Arifm, sambil
membuka bungkusan yang dijinjingnya dan memperlihatkan
isinya kepada Bakhtiar, sambil tertawa.
"Jangan dimakan begitu saja! Marilah aku kocok dahulu
dengan gula, lada, dan garam supaya lebih nyaman rasanya,"
kata Nurbaya.
"Tetapi lebih dahulu makan roti," kata Samsu, "Kalau tidak,
sakit perut kelak. Apabila hari telah panas, baharulah makan
buah-buahan ini dan rasanya pun akan lebih sedap."
"Perut si Bakhtiar tiada akan sakit, walaupun batu sekalipun
dimakannya, karena telah biasa mengalahkan segala rupa
makanan, biar yang beracun sekalipun," kata Arifin pula, yang
rupanya belum puas mempermainkan temannya ini. Tetapi
ejekan ini pun tiada dijawab oleh Bakhtiar, karena mulutnya baru
penuh berisi roti.
Setelah selesai makan, berkatalah Bakhtiar, hendak pergi
membedil burung, lalu mengambil bedil yang dibawa Samsu
tadi. Akan tetapi karena Samsu khawatir melepaskannya sendiri,
disuruhnyalah Arifin pergi bersama-sama. Maka tinggallah
Samsu dan Nurbaya berdua dalam rumah itu. Nurbaya, sebab
hendak membuat rujak jambu Keling dan Samsu akan menjaganya.
Setelah dicampur Nurbaya buah itu dengan gula, garam, dan
lada dalam sebuah mangkuk besar, lalu ditutupnya mangkuk ini
dan dikocoknya jambu Keling yang ada dalamnya. Setelah
sejurus lamanya Nurbaya mengguncang jambu itu, rupanya ia
mulai lelah digantikan oleh Samsu. Demikianlah diperbuat
mereka berganti-ganti, sehingga buah jambu itu empuk. Maka
diambillah oleh Nurbaya sebutir, lalu dikecapnya.
"Sudah, Sam; terlalu empuk pun tak enak. Cobalah engkau
kecap pula!" kata Nurbaya.
"Ya benar, telah enak rasanya," jawab Samsu, setelah dimakannya
pula sebuah. "Tetapi baiklah ditunggu dahulu
Bakhtiar dan Arifin."
"Tentu," jawab Nurbaya, "kalau tidak, barangkali Bakhtiar
akan menyangka kita telah makan lebih banyak, apabila tak
cukup bagiannya," kata Nurbaya dengan tersenyum.
Setelah keduanya berdiam sejurus, berkatalah Nurbaya tibatiba,
"O ya, baru kuingat janjimu tadi akan menceritakan
perempuan dengan kucingnya dan ayam yang bertelur emas itu.
Bagaimanakah ceritanya?"
"Benarkah engkau belum mendengar cerita ini?" tanya
Samsu.
"Sungguh belum, Sam," sahut Nurbaya.
"Kedua cerita itu ialah hikayat pendek-pendek, yang
mengiaskan pepatah: Tiap-tiap suatu yang hendak dikerjakan
atau dikatakan, haruslah dipikirkan lebih dahulu dengan sehabishabis
pikir dan ditimbang dengan semasak-masaknya: Berkata
sepatah, dipikirkan, supaya jangan salah; sebab kesalahan itu
boleh mendatangkan sesal yang tak habis. Sesal dahulu pendapatan,
sesal kemudian tak berguna.
Cerita yang pertama demikian bunyinya:
Seorang perempuan mempunyai seorang anak yang masih
menyusu dan seekor kucing yang disayanginya. Pada suatu hari,
tatkala ia hendak pergi, ditinggalkannya anaknya di atas suatu
tempat tidur dan disuruh jaganya oleh kucingnya itu. Ketika ia
kembali ke rumahnya, dilihatnya kucingnya itu duduk di muka
rumahnya dengan mulutnya berlumuran darah. Maka berdebarlah
hatinya, lalu ia berlari-lari masuk ke tempat tidur anaknya. Di
sana dilihatnya anaknya telah mati dan badannya pun penuh
darah pula. Oleh sebab pada sangka perempuan itu, tentulah
kucing ini yang membunuh anaknya, dengan tiada berpikir
panjang lagi, diturutkannyalah nafsu marahnya, lalu dipukulnya
kucingnya ini sampai mati. Akan tetapi tatkala diangkatnya
mayat anaknya, dilihatnya di bawah anaknya ini ada seekor ular
yang sangat bisa, telah mati digigit kucingnya tadi. Rupanya ia
berkelahi dengan ular itu, karena hendak membela anak tuannya.
Setelah mati ular itu duduklah ia di muka rumah, menunggu
kedatangan tuannya, seakan-akan hendak memberitahukan mara
bahaya ini.
Di situ menyesalnya perempuan tadi dengan sesalan yang
amat sangat, karena sekarang bukannya anaknya saja yang mati,
tetapi kucingnya yang amat setia dan dikasihinya hilang pula."
"Tentu saja kesalahan yang sedemikian sangat menyedihkan
dan menyusahkan hatinya, dengan sesalan yang tiada berkeputusan,"